Sajianberita - Pencak silat, olahraga beladiri ini riwayatnya adalah asli milik bangsa Melayu. Di Indonesia, pencak silat tersebar di berbagai daerah dengan beragam jenis dan variasinya. Mungkin daerah yang terkenal dengan budaya pencak silat ini adalah di pulau Sumatera terutama Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Di pulau Jawa sendiri khususnya di Jakarta pencak silat menjadi budaya yang sudah turun-temurun diwariskan khususnya di kebudayaan etnis Betawi. Pada masyarakat Betawi, khususnya pada hingga tahun 1960-an, pencak silat merupakan suatu keharusan bagi para pemuda kampung untuk menguasai teknik-teknik beladiri itu.
Pendekar sejati justru lebih mengutamakan untuk menghindari duel terutama dengan orang yang diketahui tidak menguasai ilmu beladiri. Mereka lebih memilih untuk mengalah dan menghindar dari perkelahian. Kecuali jika mengancam nyawa, atau ditujukan untuk membela kaum yang lemah, dan melawan kejahatan, barulah para pendekar mau mengeluarkan jurus-jurus ilmu beladiri simpanannya.
Berikut ini ada beberapa legenda dan cerita mengenai sejarah silat di tanah Betawi.
1. Sabeni
Nama Sabeni sudah tidak asing lagi bagi warga di sekitar Tanah Abang. Selain diabadikan menjadi sebuah nama jalan, Sabeni adalah seorang tokoh silat Betawi yang disegani tidak hanya oleh masyarakat sekitar, tapi juga namanya diakui dalam sejarah. Seperti kebanyakan cerita tentang tokoh-tokoh lokal lainnya, Sabeni merupakan seorang pejuang lokal di daerah Tenabang (sekarang Tanah Abang). Hingga kini warisan Sabeni masih terus dilestarikan walaupun dengan cukup susah payah oleh para ahli waris dan anak didiknya.
Tokoh Sabeni sendiri lahir sekitar tahun 1860. Pada jaman penjajahan Belanda, Sabeni merupakan tokoh yang sangat dimusuhi Belanda. Ia mengajarkan anak-anak muda di sekitar Tenabang belajar ilmu silat. Belanda sangat menolak adanya beladiri silat. Mereka menganggap pendekar silat adalah pemberontak. Belanda bahkan sempat menyewa jawara untuk menghabisi Sabeni, namun usaha tersebut kerap kali gagal.
Masih banyak cerita-cerita lain tentang Sabeni, ia juga pernah melawan seorang Kempetai yang jago karate. Pertarungan ini diadakan di markas Kempetai, Kramat Raya. Ia mengalahkan prajurit Jepang itu dengan jurus Kelabang Nyabrang. Jurus itu adalah jurus andalan ciptaannya. Saat ini jurus itu masih terus dilestarikan lewat Perguruan Silat Aliran Sabeni.
Kini pewaris jurus-jurus maut aliran Sabeni sudah menurun jumlahnya. Babe Ali, putra dari Sabeni kini sudah renta dan tidak segagah jaman kejayaannya dulu. Namun demi melestarikan silat anak-anak didiknya masih terus berlatih silat asli Betawi ini. Sebagai penghormatan kepada Sabeni, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengabadikan namanya menjadi nama jalan tempat kediamannya dulu. Makamnya pun dipindah ke Karet Bivak bersebelahan dengan tokoh Betawi lainnya, M. Husni Thamrin.
2. M. Djaelani / H. Zakaria
Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, dekat Masjelis Taklim Habib Ali, juga terdapat seorang jago silat bernama Muhammad Djaelani, yang dikenal dengan nama singkat Mad Djelani. Dia pernah dihukum seumur hidup oleh Belanda. Sebabnya, sekitar 1940-an ia membunuh seorang konsul Jepang di Batavia, karena disangkanya seorang Cina kaki tangan Belanda. Ia dibebaskan oleh Barisan Pelopor pada masa revolusi fisik.
Salah seorang cucunya, H Zakaria, mewarisi ilmu silatnya, Mustika Kwitang. Pada tahun 1960-an, pasukan pengawal Presiden Soekarno, Tjakrabirawa, mendatangkan suhu (guru besar) karate dari Jepang, Prof Nakagama, yang telah mendapat predikat Dan 7, disertai mahaguru karate dari AS, Donn F Dragen. Zakaria, pemuda kelahiran Kwitang, itu diminta untuk memperlihatkan tehnik bermain silat kepada kedua mahaguru karate tersebut.
Zakaria, yang kala itu masih muda, dengan lihainya memperagakan jurus-jurus bermain senjata dan memecahkan batu dengan menggunakan pergelangan tangan. Jago silat Kwitang ini juga menunjukkan kemahirannya memainkan senjata tajam dengan kecepatan tinggi. Atraksi ini mengundang kekaguman master karate Jepang. Kepada Bung Karno saat diterima di Istana Negara ia mengatakan, ”Mengapa Anda memiliki pemain sebagus ini kok pemuda-pemudinya kurang menyukai. Justru lebih suka ilmu bela diri dari Jepang?”
Ketika menuturkan kisah ini kepada penulis, Zakaria mengatakan, ”Banyak orang Indonesia menganggap rendah pencak silat dan dianggap permainan kampungan. Padahal, di Eropa dan Asia, kini banyak orang yang mempelajarinya.” Zakaria sendiri telah mengajarkan silat di Eropa.
Pada masa penjajahan, pemerintah kolonial, tak mengizinkan permainan pencak silat. Karenanya, pada masa itu para pesilat kita belajar mulai pukul 02.00 dini hari sampai menjelang subuh. Alasan Belanda, kata Zakaria, para pemberontak seperti si Pitung, si Jampang, H Murtadho dan Entong Gendut dari Condet, adalah para ahli silat. Pada masa revolusi sejumlah ahli silat Betawi dan ulamanya bahu membahu memimpin barisan melawan Belanda.
Prestasi jawara kampung Kwitang ini ternyata tidak main-main. Karena kepiawaian beliau adalam seni ‘maen pukulan’, H. Zakaria sempat masuk Tim Nasional Pencak Silat Kontingen Jakarta dalam PON II di Jakarta pada tahun 1952. Pada tahun tersebut beliau berhasil meraih medali emas. Sedangkan untuk PON III (1953), beliau sebagai pelatih berhasil membawa anak didiknya menyabet berbagai medali.
Kini dengan semakin uzurnya usia, beliau tidak henti untuk melatih para anak muda untuk ‘maen pukulan’ di daerah Kwitang. Seminggu dua kali ia melatih anak-anak muda beserta beberapa orang asing yang tertarik berlatih silat. Beliau sekarang menjadi pakar pencak silat di Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI).
3. Si Pitung
Banyak versi cerita tentang jawara yang satu ini. Pitung juga disebut-sebut sebagai ‘Robin Hood’ versi Betawi. Ia melawan penjajahan Belanda dan membela orang-orang yang ditindas oleh Belanda pada masa itu. Agak sulit untuk mengetahui secara pasti riwayat lengkap tentang si Pitung. Namun yang jelas, Pitung menjadi legenda yang semangatnya masih hidup di dalam sanubari warga Betawi hingga kini.
Menurut cerita, Pitung lahir di daerah Rawabelong, Jakarta Barat. Di kampungnya tersebut ia belajar silat kepada gurunya, H. Naipin. Aliran silat yang dipelajarinya dikenal dengan aliran Cingkrik. Selain belajar ‘maen pukulan’, si Pitung juga belajar mengaji dan mendalami Al Quran pada gurunya tersebut. Dia, menurut istilah Betawi, ‘orang yang denger kate’, dan ia juga ‘terang hati’.
Alkisah, pada waktu berusia remaja, si Pitung pernah disuruh ayahnya untuk berjualan kambing di pasar Tenabang. Ia berangkat dari rumahnya membawa lima ekor kambing. Ketika dagangannya habis dan hendak pulang, ia dirampok oleh sekelompok orang. Ia tidak berani pulang. Ia bertekad untuk merebut uang hasil penjualan kambing tersebut, dan tidak akan pulang sebelum berhasil. Ini lantaran Pitung merasa sangat bersalah kepada orangtuanya. Ia pun menjadikan langgar sebagai tempat tidurnya. Sesekali ia menumpang di rumah gurunya, H. Naipin, sambil memperdalam ilmu silatnya. Dengan tekad yang kuat itulah ia berhasil mengalahkan perampok yang dulu merampoknya dan bahkan diceritakan ia menjadi pemimpin kelompok tersebut.
Salah satu ilmu kesaktian yang dipelajari Bang Pitung disebut Rawa Rontek. Gabungan antara tarekat Islam dan jampe-jampe Betawi. Dengan menguasai ilmu ini Bang Pitung dapat menyerap energi lawan-lawannya. Seolah-olah lawan-lawannya itu tidak melihat keberadaan Bang Pitung. Karena itu dia digambarkan seolah-olah dapat menghilang. Menurut cerita rakyat, dengan ilmu kesaktian rawa rontek-nya itu, Bang Pitung tidak boleh menikah. Karena sampai hayatnya ketika ia tewas dalam menjelang usia 40 tahun Pitung masih tetap bujangan.
Cerita tentang tewasnya si Pitung merupakan kisah tersendiri. Belanda yang kewalahan menghadapi si Pitung lantas memerintahkan Schout (kepala polisi setingkat Kapolsek) van Heyne untuk membereskan masalah si Pitung. Van Heyne pun memutar otaknya. Berkali-kali si Pitung keluar masuk penjara karena merampok orang Belanda. Ia juga dikabarkan punya ilmu kebal senjata dan mampu menghilang. Strategi van Heyne adalah mengalahkan si Pitung dari ‘dalam’. Oleh penghianatan teman di dalam kelompoknya, si Pitung akhirnya berhasil ditewaskan menggunakan peluru emas. Dan menurut salah satu cerita rakyat, jasadnya dikuburkan secara terpisah antara kepala dan tubuhnya.
Namun bagaimanapun cerita rakyat mengenai si Pitung, yang perlu digarisbawahi adalah semangatnya untuk membela orang-orang kecil melawan penindasan.
4. Murtado
Murtado si Macan Kemayoran, begitu julukan yang diberikan warga Betawi kepada jawara asal kampung Kemayoran ini. Sama seperti kisah-kisah kepahlawanan lokal Betawi, Murtado merupakan seorang tokoh pemuda Betawi yang rendah hati dan membantu rakyat kecil dari penindasan Belanda jaman itu. Meskipun ia dikenal sebagai jawara, jago silat, namun sikapnya yang ramah dan rendah hati itu membuat warga senang kepada tokoh yang satu ini.
Dikisahkan dalam sebuah ceritera, Murtado melawan dua orang jawara lain yang menjadi centeng Belanda, Mandor Bacan dan Bek Lihun. Pada sebuah kesempatan panen padi, warga bersama-sama memanen padi hasil kerja paksa untuk kepentingan Belanda. Panen padi itu diawasi oleh seorang centeng bernama Mandor Bacan. Murtado pun turut dalam kegiatan panen padi ini. Ia berada di sebelah seorang gadis kenalannya. Mandor Bacan pun mulai mengganggu si gadis dengan menuduhnya berbuat curang, lalu mulai mempermainkan si gadis tersebut. Dengan tiba-tiba tampillah Murtado membela si gadis. Terjadilah perkelahian antara Mandor Bacan dengan Murtado. Karena kepiawaiannya bermain silat, Mandor Bacan pun dengan mudah dikalahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar