Sabtu, 21 April 2012

Synthia, Pilihan Hidup Perempuan Reserse




Iptu Synthia Nuradiani (VIVAnews/Ikhwan Yanuar)
Kartini-kartini masa kini bisa berada di mana saja, termasuk berkecimpung di bidang yang didominasi oleh lelaki. Iptu Synthia Nuradiani adalah salah satu di antara mereka. Dia adalah polisi wanita yang bertugas di unit yang identik dengan kaum adam.


Iptu Synthia awalnya tak pernah berpikir bakal bergabung dengan Polri. Sebelum masuk ke reserse kriminal Polri, ia bahkan bekerja di perusahaan asing dan bank. Dari sosok wanita yang sehari-hari menghindari sengatan matahari, kerap mengenakan hak tinggi, setelan blazer-rok ke kantor, dan rutin ke salon tiap dua minggu sekali, ia kini bermetamorfosa menjadi polisi wanita disegani.



Garis hidup wanita muda berusia 28 tahun yang baru menikah satu bulan dengan sahabat prianya di Akademi Kepolisian itu berbelok ketika ia menempuh pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Parahyangan, Bandung. Ketika itu ia mengambil jurusan Magister Manajemen.



“Di situ ada pelajaran soal analisis keuangan. Lalu saya merasa negara saya ini dibodoh-bodohi orang asing. Kenapa negara lain gampang sekali menyedot kekayaan negara kita? Itu awal saya ingin menjadi polisi,” tuturnya ketika diwawancarai VIVAnews awal pekan ini. Dari karyawan perusahaan asing, Iptu Synthia banting setir masuk Akademi Kepolisian.



Ia lulus Akpol tahun 2010 dan ditempatkan di Polres Jakarta Selatan. Di unit reserse kriminal, 90 persen rekan kerjanya adalah lelaki. Namun Iptu Synthia justru merasa tertantang. “Tantangan di Polri berbeda dengan kerja di perusahaan. Jadi polisi di sini lebih menantang, ditambah lagi polwan jarang di reserse. Istilahnya di sini reserse bukan tempat perempuan,” kata dia.



Tapi ingat, ujar Iptu Synthia, penjahat itu tidak semua lelaki, dan korban kejahatan juga tidak semua lelaki. Ada juga penjahat perempuan. “Jadi kenapa perempuan ditempatkan di bidang yang umum dikerjakan lelaki? Karena mereka dibutuhkan,” tegasnya.



Iptu Synthia belum pernah mengalami kejadian tak menyenangkan meski bidangnya didominasi kaum pria. Ia pun mengaku tidak pernah digoda rekan lelakinya. “Alhamdulillah belum ada. Tampang saya kan sangar,” ujarnya sembari terbahak. “Kalau tidak sangar, bagaimana penjahat mau takut sama polisi. Polisi itu tidak boleh lembek dan lenjeh,” dia menambahkan.



Iptu Synthia pun belum terpikir untuk menjadi ibu rumah tangga saja. Menurutnya, situasi di Indonesia berbeda dengan di negara-negara lain, terutama negara maju. “Di sana, trennya perempuan justru kembali menjadi ibu rumah tangga karena mereka merasa anak zaman sekarang mengalami kemunduran karena tidak didik oleh ibunya sendiri. Tapi di sini trennya era emansipasi dan wanita bekerja,” kata dia.



Apapun, menurut Iptu Synthia, perempuan memang terbiasa dengan pekerjaan ganda. “Ya bekerja, ya ibu rumah tangga. Kalau suami pulang kerja mungkin langsung istirahat atau nonton TV, perempuan pulang kerja lalu membersihkan rumah dan mengurus anak,” ujarnya.



Tapi, lanjutnya, pekerjaan ganda itu terbukti berpengaruh ke lingkungan kerja profesional perempuan. “Contoh nyata, kalau unit perempuan dan perlindungan anak diberi kasus lima, maka kelimanya jalan semua. Tapi kalau laki-laki diberi dua laporan polisi, pasti mereka kerjakan satu-satu. Itu bedanya lelaki dan perempuan,” kata Iptu Synthia.



Di unit reserse tempatnya bekerja sendiri, dinamika pekerjaan tergolong sangat tinggi. “Hari ini mungkin hadapi menteri, besok bisa penjahat jalanan. Betul-betul penuh tantangan,” ujar Iptu Synthia. Ia lantas membeberkan, karakteristik kasus di Jakarta berbeda-beda.



“Misal di Jakarta Pusat, polisi selalu disiapkan untuk pengamanan demo karena demo kerap terjadi di Istana, Monas, sampai DPR. Tapi Jakarta Barat dan Jakarta Utara lebih banyak kasus perniagaan, sedangkan Jakarta Timur lebih banyak kasus kejahatan jalanan,” kata dia.



Hanya, menurut Iptu Synthia, pekerjaannya menuntut pengorbanan. “Pekerjaan nomor satu, keluarga nomor dua. Kalau sungguh-sungguh menjadi abdi negara, harus ada yang dikorbankan,” kata dia. Dia dan suaminya misalnya, jarang bertemu meski baru sebulan menikah.



Kebetulan tak lama setelah mereka menikah, Jakarta siaga menghadapi demonstarsi antikenaikan harga bahan bakar minyak. “Jadi ya kami tidak ketemu karena harus siaga di markas komando masing-masing. Kami ikhlas merelakan kebersamaan kami untuk tugas,” ujarnya. Suami Iptu Synthia sendiri ditugaskan di Sukabumi, sehingga mereka baru bsia bertemu jika ada waktu.



“Lebih sering suami saya yang mengunjungi saya ke Jakarta karena pekerjaan saya di Polda Metro lebih kompleks. Tidak memungkinkan bagi saya dengan jabatan saya ini untuk kerap datang ke Sukabumi. Jadi hubungan kami fleksibel saja,” tuturnya. Iptu Synthia saat ini menjabat sebagai Kepala Urusan Pembinaan dan Operasional Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Selatan.



Dia lantas menceritakan, salah satu perbedaan utama bekerja di perusahaan asing dan Polri adalah soal anggaran. “Di kepolisian ini, banyak kegiatan yang belum terdukung oleh anggaran. Jadi kadang sebagai pimpinan kami harus membantu misal ada anggota kecelakaan. Memang sudah disediakan rumah sakit untuk rujukan, tapi kan tidak semua di-cover oleh RS itu,” ujarnya.



Bila ada kasus kriminal yang mengharuskan pengejaran ke luar kota dan belum ada anggaran, Iptu Synthia dan rekan-rekannya pun terkadang harus mengeluarkan dananya sendiri. Namun ia optimis masa depan Polri akan lebih cerah. “Polisi sekarang sudah ada remunerasi. Kita tunggu saja, karena semua tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Butuh proses dan waktu,” kata dia.



Pada akhirnya, Iptu Synthia menegaskan ia tidak mau berpindah profesi meski ada kesempatan. Sebagai mantan karyawan perusahaan asing, ia tahu persis betapa banyak lulusan terbaik universitas ternama di Indonesia justru menyasar perusahaan asing yang memberikan penghasilan besar. Itu pula yang ia lakukan ketika mengantongi ijazah sarjana dari Universitas Parahyangan.



“Tapi mengabdi sebagai polisi ini sekarang pilihan saya. Negara kita butuh orang-orang berkualitas. Kalau bisa kita jangan hanya membangun negara orang, karena kalau kita tidak membangun negara sendiri, lantas kapan negara kita maju,” ujar Iptu Synthia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar