Mari kita sejenak jalan-jalan ke Jalan Melati, Blitar, Jawa Timur. Di
mana, kita akan mengulas sebuah cerita misteri yang penuh teka-teki
mengenai sebuah makam tua atau lebih dikenal dengan nama makam gantung
(dalam arti yang sebenarnya).
Konon, makam gantung ini adalah makam Eyang Joyodigo - seorang sufi yang menguasai ilmu langka: Aji Pancasoka. Ilmu yang bisa menghidupkan kembali seseorang yang mati saat jasadnya menyentuh tanah. Alasan itulah yang membuat makam Eyang Joyodigo digantung. Walau demikian, jasadnya tidak digantung melainkan dimasukkan ke dalam peti besi dengan empat penyangga.
Biran, kuncen makam gantung, menuturkan bahwa Eyang Joyodigo adalah
satu-satunya orang yang menguasai Aji Pancasoka. Dalam epos Ramayang
hanya satu orang yang memiliki Aji Pancasona yaitu Subali - saudara
kembar Sugriwo. Keduanya bangsa kera. Saking canggihnya mulut manis
Rahwana, Aji Pancasoka bisa dikuasainya.
Lalu bagaimana Eyang Joyodigo bisa menguasai Aji Pancasoka?
Biran menuturkan kembali bahwa sosok Eyang Joyodigo gemar melakukan tirakat dan laku prihatin. Pelbagai macam ilmu sudah dikuasainya.
Membicarakan Eyang Joyodigo tidak lepas juga dari sejarah. Karena dia
juga dekat dengan Pangeran Diponegoro. Berikut ini adalah lansiran dari
majalah Misteri:
"Dan pada tahun 1825, timbul perselisihan antara Belanda dengan
Pangeran Diponegoro. Penyebabnya, pihak keraton bagi Diponegoro, terlalu
merendahkan martabatnya. Keraton Yogyakarta, seakan-akan berdiri hanya
karena kemurahan hati Belanda.
Tak hanya itu, yang membuat darah Diponegoro mendidih. Saat itu,
kekuasaan raja-raja ditanah Jawa terus dipersempit. Ada lagi, kekuasaan
raja disamakan dengan kedudukan pengawai tinggi pemerintahan Kolonial.
Bahkan, pemerintah kolonial terlalu jauh mencampuri urusan keraton
dengan cara ikut campur dalam hal pergantian raja.
Lebih menyakitkan lagi bagi Diponegoro, pihak Belanda memungut pajak
jalan, ternak, rumah serta hasil bumi kepada rakyat jelata. Karena itu,
ketika kompeni membuat tanda tapal batas untuk jalan yang melewati
tanah leluhurnya, tanda tapal batas itu langsung dicabut.
Dengan begitu, api peperangan telah tersulut. Selama dalam masa
peperangan yang berlangsung lima tahun (1825-1830), salah satu pengikut
pangeran Diponegoro yang setia yakni, Joyodigo. Bersama Diponegoro,
Joyodigo terus melakukan perlawanan kepada Belanda.
Tak hanya sekali, tokoh sakti ini tertangkap dan dieksekusi mati
oleh Belanda. Namun, karena mempunyai Aji Pancasona, begitu jasadnya
dibuang oleh Belanda, Joyodigo hidup lagi tanpa sepengetahuan kompeni.
Hingga pada akhirnya, di tahun 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap
karena siasat licik pihak kompeni. Namun walau Pangeran Diponegoro telah
diasingkan ke Makasar setelah tertangkap, bukan berarti darah pejuang
Joyodigo padam.
Walau saat pecah perang Pangeran Diponegoro, usianya masih menginjak
sekitar 30-an. Ia terus melakukan perang gerilya bersama pengikut
Pangeran Diponegoro yang lain. Namun, karena saat itu wilayah Yogyakarta
terlalu banyak penjagaan oleh kompeni, Joyodigo memilih perang gerilya
menuju arah timur.
Singkat kata, dalam perjalanannya ke arah timur, setiap pos Belanda
yang lengah, pasti diserang. Hingga pada akhirnya, sampailah Joyodigyo
di wilayah Blitar. Di kota ini, tanpa sepengetahuan pihak penguasa
Blitar saat itu, Joyodigo terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Merasa wilayahnya aman dari pemerasan kompeni, kemudian Adipati
Blitar saat itu, mengirim pasukan telik sandi (intel) untuk mencari tahu
siapa sebenarnya yang telah membuat takut kompeni di wilayah Blitar.
Hingga pada akhirnya, telik sandi yang dikirim oleh sang Adipati,
menemukan Joyodigo di sebuah hutan yang masuk Blitar Selatan. Atas
perintah Adipati Blitar, telik sandi mengundang Joyodigo untuk datang ke
pendopo.
Namun permintaan utusan Adipati Blitar ini ditolak dengan halus.
Alasannya, Joyodigo saat itu, masih sibuk melatih laskar untuk mengusir
kompeni.
Karena tolakan halus dari Joyodigo ini, kemudian telik sandi
langsung pulang dan melapor kepada Adipati. Dua tahun kemudian, Adipati
Blitar kembali mengirim utusan. Saat itu, patih di kadipaten Blitar
mangkat dan harus segera dicarikan pengganti.
Maksud Adipati mengirim utusan yang kedua, agar Joyodigo bersedia
menjadi pati di kadipaten Blitar. Dan karena banyak pihak kompeni yang
meninggalkan Blitar lantara serangan gerilya pasukan Joyodigo, tokoh ini
bersedia menerima tawaran Adipati Blitar.
Sebagai seorang keturunan darah biru dan pernah tinggal di keraton,
ketika diangkat menjadi patih di kadipaten Blitar, Joyodigo sudah tak
asing lagi dengan pemerintahan. Patih Joyodigo mampu mengambil kebijakan
yang sangat cakap.
Hal inilah yang membuat salut sang Adipati Blitar. Karena kecakapan
ini, kemudian sang Adipati memberinya tanah perdikan yang sekarang
berada di Jalan Melati kota Blitar. Di tanah perdikan ini, Joyodigo
kemudian membangun sebuah rumah besar untuk keluarganya dan diberinya
nama, Pesanggerahan Joyodigo."
Masyarakat Blitar percaya kalau makam gantung ini wingit, selain makam Bung Karno (tidak jauh dari makam gantung ini). Dan makam gantung ini dijaga oleh dua sosok gaib dengan wujud binatang, yaitu ular sebesar batang pohon kelapa dan seekor harimau loreng sebesar anak sapi. Konon, para peziarah ada yang pernah diperlihatkan dua penunggu gaib ini. Itu karena hingga Eyang Joyodigo meninggal, penunggu gaib itu masih setia menunggu makam majikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar